Realitas problematika yang dihadapi umat Islam pasca meninggalnya Rasulullah Saw. adalah pertanyaan tentang siapa yang akan melanjutkan kepemimpinan umat Islam pada waktu itu. Hal ini terjadi karena sumber utama hukum Islam, yaitu Alquran dan hadis tidak secara tegas dan detail yang memberikan penjelasan pola suksesi kepemimpinan. Karena itu, pola suksesi pengangkatan kepemimpinan, bentuk dan sistem pemerintahan negara merupakan wilayah ijtihadi yang diberikan kepada umat manusia untuk menata kehidupannya berdasarkan realitas tantangan kehidupan yang dihadapinya.
Dalam kajian siyasah syar’iyah, legislatif merupakan lembaga lembaga penengah dan pemberi fatwa (ahl al-hall wa al-‘aqd). Pembicaraan sebagian ulama mempertanyakan dan meragukan siapa sebenarnya ahl al-hall wa al-‘aqd itu, sebab dengan penamaan ahl al-hall wa al-‘aqd tersebut, tentu menjamin akan tidak ada perselisihan dalam tubuh mereka. Namun terkadang pula mereka disebut sebagai ahlul-ikhtiyar (ahli memilih pemimpin), ahlusy-syura (juru musyawarah/ runding), atau ahlul-ijtihad (pakar ijtihad). Beberapa ulama telah memberikan perhatian terhadap ahl al-hall wa al-‘aqd ini. Ahl hall wa al-‘aqd adalah orang-orang yang diikuti atau di patuhi dan dipercaya umat, umat rela dengan pendapat mereka, karena mereka dikenal ikhlas, konsisten, taqwa, adil, beride baik, memahami masalah dan lebih mementingkan kepentingan umum. Sebelum masa Islam, orang-orang Arab memiliki suatu lembaga yang disebut dewan “Nadi”, yaitu dewan yang senantiasa bermusyawarah untuk memutuskan suatu masalah. Lembaga inilah yang kemudian para ulama mendemonstrasikan dalam Alquran, dengan menggunakan istilah “nadi” atau “syura”. Kekuatan tertinggi untuk mengambil keputusan tentang segala sesuatu di kalangan bangsa Arab, yang tidak mengenal bentuk pemerintahan kerajaan, pemerintahan absolut atau otokratik itu, berada ditangan orang-orang tua dalam suku atau kota mereka.
Pada masa Rasul, ahl al-hall wa al-‘aqd adalah para sahabat, yaitu mereka yang diserahi tugas-tugas keamanan dan pertahanan serta urusan lain yang berkaitan dengan kemaslahatan umum, para pemuka sahabat yang sering beliau ajak musyawarah, mereka yang pertama-tama masuk Islam (al-Sabiqun al-Awwalun), para sahabat yang memiliki kecerdasan dan pandangan luas serta menunjukkan pengorbanan dan kesetiaan yang tinggi terhadap Islam, dan mereka yang sukses melaksanakan tugasnya baik dari kaum Ansar maupun dari kaum Muhajirin. Jadi jelas bahwa pada zaman itu, orang-orang yang disebut sebagai ahl al-hall wa al- ‘aqd secara terus menerus memegang kedudukan yang sangat dipercaya selama jangka waktu lama dan dengan demikian diberi hak untuk mengambil keputusan-keputusan bersama mengenai semua massalah pemting yang menyangkut umat.
Konsep Legislatif dalam Ketatanegaraan Islam
Kekuasaan legislatifs adalah kekuasaan yang terpenting dalam pemerintahan Islam, karena ketentuan dan ketetapan yang dikeluarkan lembaga legislatif ini akan dilaksanakan secara efektif oleh lembaga legislatif dan dipertahankan oleh lembaga yudikatif atau peradilan. Orang-orang yang duduk dilembaga legislatif ini terdiri dari pada mujtahid dan ahli fatwa (mufti) serta para pakar dalam berbagai bidang. Karena penetapan syariat sebenarnya hanyalah wewenang Allah, maka wewenang dan tugas lembaga legislatif hanya sebatas menggali dan memahami sumber-sumber syariat Islam, yaitu Alquran dan Sunah Nabi, dan menjelaskan hukum-hukum yang terkandung didalam kedua sumber tersebut. Undang-undang dan peraturan yang akan dikeluarkan oleh lembaga legislatif harus mengikuti ketentuan-ketentuan kedua sumber syariat tersebut. Oleh karena itu, dalam hal ini terdapat dua fungsi lembaga legislatif seperti diuraikan Muhammad Iqbal. Pertama, dalam hal-hal yang ketentuannya sudah terdapat di dalam nas Alquran dan Sunah, undang-undang yang dikeluarkan oleh lembaga legislatif adalah undang-undang Ilahiyah yang disyariatkan- Nya dalam Alquran dan dijelaskan oleh Nabi Saw. Namun hal ini sangat sedikit, karena pada prinsipnya kedua sumber ajaran Islam tersebut hanya berbicara masalah-masalah yang global dan sedikit sekali menjelaskan suatu permasalahan secara rinci, sementara perkembangan masyarakat begitu cepat dan kompleks sehingga membutuhkan jawaban yang tepat untuk mengantisipasinya. Kedua, yaitu melakukan penalaran kreatif (ijtihad) terhadap permasalahan-permasalahan yang secara tegas tidak dijelaskan oleh nas. Disinilah perlunya legislatif tersebut diisi oleh para mujtahid dan ahli fatwa sebagaimana dijelaskan di atas.