Pada dasarnya, perjanjian berfungsi sebagai media untuk membuat batasan dan menciptakan ekspektasi para pihak. Ketika ada perjanjian antara perusahaan dengan klien, para pihak bisa saling menghargai kepentingan masing-masing dan mengetahui dengan jelas apa yang akan diperoleh masing-masing pihak dalam menjalankan suatu transaksi. Dengan adanya perjanjian, para pihak dapat mencapai tujuan bersama yang saling menguntungkan. Perjanjian merupakan suatu dokumen yang mengikat para pihak di mana masing-masing pihak memiliki kewajiban yang harus dipenuhi kepada pihak lainnya.
Salah satu kewajiban yang paling umum adalah pembayaran, karena pada dasarnya dalam suatu transaksi ada pembayaran yang harus dilakukan salah satu pihak kepada pihak lainnya sebagai timbal balik atas barang atau jasa yang telah diberikan. Ketika ada perjanjian, terdapat kejelasan mengenai pembayaran bahkan ketentuan mengenai denda sebagai konsekuensi telat bayar.
Selain itu, perjanjian dapat membantu suatu transaksi agar menjadi lebih efisien dan menghindari proses negosiasi yang berlarut-larut. Dengan adanya perjanjian, maka akan dengan mudah melakukan penagihan pembayaran ataupun menagih prestasi yang tertulis dalam perjanjian tersebut. Dan jika salah satu pihak melanggar dan melakukan wanprestasi, maka pihak yang lainnya memiliki bukti yang kuat untuk membawa permasalahan tersebut ke jalur hukum.
Berkaitan dengan hal tersebut, adapun syarat sah nya perjanjian sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa :
“Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat:
sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
suatu hal tertentu;
suatu sebab yang halal.”
Pertama, “Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya” berarti, para pihak yang membuat perjanjian harus sepakat atau setuju mengenai hal-hal pokok atau materi yang diperjanjikan, dimana kesepakatan itu harus dicapai dengan tanpa ada paksaan, penipuan atau kekhilafan sesuai dengan Pasal 1321 KUHPerdata yang berbunyi: “Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.”
Kedua, “Kecakapan untuk membuat suatu perikatan”, dalam Pasal 1330 KUHPerdata sudah mengatur pihak-pihak mana saja yang boleh atau dianggap cakap untuk membuat perjanjian. Pasal 1330 KUHPerdata berbunyi :
“Yang tak cakap untuk membuat perjanjian adalah:
Anak yang belum dewasa;
Orang yang ditaruh di bawah pengampuan;
Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang, dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat perjanjian tertentu.”
Namun, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 tahun 1963, seorang isteri sekarang sudah dianggap cakap untuk melakukan perbuatan hukum)
Ketiga, “Suatu hal tertentu” maksudnya adalah dalam membuat perjanjian, objek yang dijadikan dalam perjanjian harus jelas. Setidaknya jenis barangnya itu harus ada sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 1332 dan Pasal 1333 KUHPerdata.
Pasal 1332 berbunyi : “Hanya barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok perjanjian.”
Pasal 1333 KUHPerdata berbunyi : “Suatu perjanjian harus mempunyai pokok berupa suatu barang yang sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya. Jumlah barang itu tidak perlu pasti, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.”
Keempat, “Suatu sebab yang halal” berarti tidak boleh memperjanjikan sesuatu yang dilarang undang-undang atau yang bertentangan dengan hukum, nilai-nilai kesopanan ataupun ketertiban umum.
Pasal 1337 berbunyi : “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.”
Apabila keempat syarat tersebut tidak terpenuhi, maka kesepakatan yang telah dibuat oleh para pihak tidak dapat dikatakan sebagai perjanjian. Hal ini akan berdampak pada objek perjanjian, baik itu pinjam meminjam, maupun dalam hal urusan bisnis. Oleh karena itu sangat penting untuk mengamati setiap butir perjanjian agar tidak menyalahi syarat serta ketentuan mengenai perjanjian. Tanpa adanya perjanjian dapat membuat hak serta kewajiban para pihak menjadi rancu dan tidak jelas yang berujung pada tidak adanya kepastian hukum. Hal ini sangat perlu diperhatikan oleh masyarakat, khususnya dalam menjalankan suatu bisnis.
Salah satu faktor kegagalan suatu bisnis adalah tidak adanya perjanjian yang mengatur seluruh transaksi atau aktivitas bisnis. Misalnya, perjanjian dalam kerja sama bisnis, dan perjanjian jual beli. Perjanjian berfungsi sebagai faktor untuk meningkatkan pendapatan perusahaan dan menjaga hubungan yang baik antar sesama. Misalnya ketika satu pihak tidak melakukan pembayaran tepat waktu, hal ini tentunya akan berdampak pada pihak lain terlebih jika nilai transaksinya besar. Selain itu, tanpa adanya perjanjian, legalitas seseorang yang dirugikan akibat perbuatan orang lain tidak begitu kuat jika ingin dilanjutkan ke jalur hukum. Demikian juga dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban para pihak menjadi tidak jelas karena tidak adanya perjanjian.